Saturday, June 16, 2012

Tentang Bola

Ini jelas jadi masalah baru. Musim nonton bola, pas keponakan datang bawa PlayStation. Dan sialnya, Dadung, si keponakan, paling hobi main PS. Pagi sampai sore, sore sampai pagi. Pernah, gara-gara PS, si keponakan nyaris masuk MURI. Bukan sebagai orang yang paling lama main PS. Tapi orang paling banyak makan pisang goreng. Karena kebetulan, tiap main PS, dia doyan ngemil pisang goreng.

Hari pertama pertandingan Piala Eropa, Dadung sudah ngajak berantem. “Dung, malem ini ndak usah main PS. Aku mau nonton bola,” kata Yanus. Wajahnya yang sumal, super kumal, ditekuk-tekuk biar sangar.

Dadung menjawab kalem, “Silahkan nonton bola. Saya tidak keberatan”. Yanus menatap curiga. Dadung yang biasanya jago ngotot, sore itu terkesan kalem, tak melakukan perlawanan. Dan benar saja. Jelang jam siaran bola, Dadung tak beranjak dari depan televisi. Masih ndoprok menikmati game favoritnya. “Lho, lang minggat. Waktunya nonton bola,” kata Yanus.

Dadung berdiri dan pergi ke belakang. Saat kembali membawa bola. “Ini bolanya, lik. Silahkan kalau mau ditonton,” katanya. Langsung ndoprok, seperti tak terjadi apa-apa.

Yanus langsung mbesengut. Berkacak pinggang dan siap asah pedang. Istrinya yang nyempluk ginuk-ginuk langsung mendekat. “Jangan berantem. Ndak lucu didengar tetangga,” katanya khwatir. “Ponakan sempel,” sahut Yanus.

“Jangan gitu. Keponakan datang belum tentu setahun sekali,” bisiknya. “Kalau pingin main bola, ya ndak apa-apa. Sama aku saja,” bisiknya. Kali ini sambil mengedip-ngedipkan mata. Jan ngguilani.

Yanus makin mbesengut dan melangkah ke depan rumah. Dalam pikirannya, yang paling mungkin nongkrong di warung depan gang. Nonton bola, sambil ngopi. Ngemil pisang goreng dan tahu isi, sambil pasang taruhan lima ribuan. Dalam hitungan detik, motor bututnya langsung melaju.

Tapi seperti cerita yang biasa terjadi, rencana indah itu sering tak sejalan dengan kenyataan. Warung tutup. Dan lebih celaka lagi, ban motor Yanus bocor. “Ooo, ancene mbokne han..,” makinya, entah pada siapa. Bola amarah menggelembung dan nyaris pecah.

Beruntung, tiba-tiba ada jari lentik menyentuh lengannya. “Mas, numpang tanya,” kata seorang perempuan berbaju merah, yang tiba-tiba sudah njegegrek di belakang Yanus.

“Ada apa, mbak?” kata Yanus dag-dig-dug. Seumur-umur ia belum pernah melihat cewek cantik seperti ini. Rambutnya hitam, alisnya hitam, bola matanya hitam. Untung giginya tidak hitam.

“Mau tanya. Tapi saya malu ngomongnya,” kata perempuan itu. Di tubuh padatnya, Yanus melihat bola-bola tertata dengan cara yang sangat menggoda. “Ndak apa-apa, mbak. Mungkin saya bisa bantu. Saya paham kampung ini. Kalau soal matematika bisa sedikit-sedikit. Itu pun sering salah,” tukas Yanus.

Bibir perempuan itu merekah. Tersenyum dengan cara yang super indah. Kalau sudah begini, untuk beberapa saat, beberapa saat, dan beberapa saat lagi, Yanus jadi lupa dengan Dadung, PlaySation, motor butut yang bannya bocor, bahkan pada istrinya.

Istrinya yang punya jadwal ngomel mirip minum obat pilek ; sehari tiga kali. Istrinya yang tiap goreng tempe tak pernah lupa bersenandung. Walau Yanus paham betul, istrinya sering letih berpikir tentang banyak hal. Bersiasat dengan harga barang kebutuhan yang kerap naik tanpa permisi, biaya sekolah yang makin melangit, dan entah apa lagi. Hati Yanus merintih. Tiba-tiba ia merasa malu pada dirinya sendiri. Pada istrinya, bahkan pada Tuhan. Apa yang telah aku lakukan? Bisiknya lirih.

Si perempuan berbaju merah mendekat dan kembali bertanya. “Saya mau nanya. Kalau jam segini nyari persewaan CD PlayStation dimana ya?”. Yanus langsung diam.

Hendro D. Laksono
*) diterbitkan di Matanesia e-Magazine edisi 09

0 comments:

Post a Comment